Minggu, 10 Oktober 2010

KEMITRAAN NOKIA DAN INTEL

Nokia, vendor ponsel terbesar dunia sepakat bekerja sama dengan produsen chip nomor satu, Intel. Kolaborasi dua raksasa teknologi ini diprediksi bakal mengguncang pasar mobile dengan menciptakan perangkat baru yang revolusioner, dari smartphone hingga netbook. Kemitraan antara produsen chip terbesar di dunia dan produsen telepon genggam terbesar di dunia itu mengisyaratkan sebuah tantangan langsung bagi sistem operasi mulai dari Microsoft, Google dan Apple. MeeGo adalah sistem operasi terbuka, berbasiskan plaform Linux mirip seperti Google Android yang memadukan Maemo Nokia dan Intel's Moblin systems. Hal ini diungkappkan pada konferensi pers pada pembukaan hari pertama Mobile World Congress di Barcelona, pameran perdagangan ponsel terbesar di dunia.

Para analis teknologi menyambut gembira kerja sama antara Intel dan Nokia ini. Will Strauss selaku analis di Forward Concepts menilai Intel lama mencoba memasuki pasar mobile yang merupakan masa depan teknologi. Dengan menggandeng Nokia selaku produsen handset terbesar dunia, Intel pun mendapat sejumlah keuntungan. Meski demikian, para analis menilai kemitraan antara keduanya dapat menimbulkan situasi yang membingungkan. Sebagai contoh, Nokia sekarang mendukung sistem operasi Symbian untuk jajaran ponsel pintarnya yang juga digunakan dua pesaingnya.

Sedangkan bagi Nokia, kolaborasi dengan Intel bisa berarti langkah awal untuk memasuki pasar notebook ataupun netbook. Sebab nama besar Intel di pasar komputer jinjing bakal meningkatkan daya saing Nokia.


Sumber :
http://www.sentraponsel.com/sp1/index.php?option=com_content&task=view&id=575&Itemid=1

http://www.antaranews.com/berita/1266328156/intel-nokia-luncurkan-meego

Minggu, 03 Oktober 2010

ADAT ISTIADAT ETNIS TANA TORAJA

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).

Bahasa Toraja adalah salah satu rumpun dari Bahasa Melayu (Austronesia) Tua yang dituturkan sehari-hari oleh Suku Toraja yang dikenal sebagai satu dari suku-suku Proto-melayu.
Kekhasannya dapat ditemukan dari penggunaan kata-kata Melayu Tua dalam Bahasa Toraja,Misalnya:Tasik=Laut,Tunu=Membakar,Pitu=Tujuh,dll.

Upacara adat Toraja

Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 ( dua ) macam pembagian yaitu:

Upacara kedukaan disebut Rambu Solok.

Upacara ini meiiputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu :

Rapasan, Barata Kendek, Todi Balang, Todi Rondon., Todi Sangoloi, Di Silli dan Todi Tanaan.


Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka.

Upacara ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu

Tananan Bua’, Tokonan Tedong, Batemanurun, Surasan Tallang, Remesan Para, Tangkean Suru

dan Kapuran Pangugan

Karena mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya (60 %) maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solok

UMPOYA ANGIN DAN MANGRAMBU TAMPAK BELUAK

Umpoya angin (memukat angin) dan mangrambu tampak beluak (mengupacarakan sisa/ujung rambut) adalah upacara Rambu Solo' menurut Aluk Todolo tanpa jenazah tetapi hanya dengan membungkus angin atau ujung kuku / rambut. Ini dilakukan jika orang yang akan diupacarakan ternyata meninggal di luar daerah dan orang hanya membawa berita kematiannya atau hanya ujung rambut atau kukunya.

Menurut Aluk Todolo setiap orang yang mati harus diupacarakan agar arwahnya dapat diterima sebagai arwah yang baik di Puya dan dapat menjadi Tomembali Puang yang memperhatikan keturunannya.Oleh karena kewajiban daripada arwah serta keyakinan dalam Aluk Todolo, maka orang yang mati di luar daerahnya dapat diupacarakan dengan cara yang wajar sesuai dengan cara tertentu, namun mayatnya tidak diketahui tempatnya. Upacara untuk orang demikian ada 2 yaitu
1. Di poyan angin, yaitu jika seseorang yang meninggal dan jasadnya tidak didapatkan atau tidak diketahui dimana letak jenasahnya, sehingga tidak didapatkan ujung rambut atau ujung kukunya ataupun pakaiannya, terutama orang yang tenggelam di laut, hilang di dalam hutan, maka orang yang mati itu harus diupacarakan dengan Upacara Dipoyang Angin yaitu seluruh keluarga dari yang mati pergi ke puncak gunung dan membawa sebuah sarung yang baru untuk memukat angain dengan sarung tersebut.Cara memukat angin ini adalah salah satu ujung sarung diikat kemudian diarahkan ke arah datangnya angin. Angin yang membuat sarung menggembung akan ditangisi oleh perempuan dan segera para pria akan mengikat ujung yang masih terbuka sehingga sarung akan terisi angin yang menggembung.Pada saat itu diyakinkan bahwa nyawa dan roh dari yang mati telah masuk ke dalam sarung tadi, dimana kemudian sarung yang berisi angin tersebut dibawa ke Tongkonan untuk selanjutnya dibungkus menyerupai bundaran balun dan dianggap sebagai jenasah dari orang yang mati. Replika jenasah ini kemudian diupacarakan sesuai dengan kasta dari orang yang mati. Pada umumnya Upacara Dipoyan Angin dilaksanakan dengan upacara dipasangbongi namun dengan memotong kerbau lebih dari satu ekor dimana kulit (balulang) salah satu kerbau yang dipotong itu tidak boleh dilepas tetapi diiris bersama dengan dagingnya.Kemudian Tominaa mengucapkan untaian kata dari atas menara daging (Bala’kayan Duku’) yang mengungkapkan kesetiaan dari keluarganya serta kematian dari si mati dan diyakini bahwa arwahnya dapat diterima dengan wajar di alam baka atau Puya

2. Upacara Mangrambu Tampak Beluak, yaitu suatu upacara pemakaman dimana hanya ujung rambut atau kuku dan pakaian dari jenasah yang dibungkus, sedangkan jenasahnya dikuburkan jauh dari negerinya. Menurut keyakinan Aluk Todolo bahwa dengan adanya ujung rambut atau kuku, maka hal itu sama dengan jenasah aslinya dan diupacarakan sesuai dengan tingkatan kasta dari orang yang mati tersebut.Sering juga pihak keluarga pergi mengambil jenasah itu dengan menggali tulang belulang jenasah dan dibawa ke negerinya untuk diupacarakan. Pada saat menggali tulang belulang tersebut yang dinamakan Mangkaro batang Rabuk, maka harus diganti dengan menguburkan satu ekor hewan yang biasanya ayam atau babi.


Dengan memperhatikan pemakaman cara demikian di atas bahwa menurut keyakinan Aluk Todolo, setiap manusia harus diupacarakan kematiannya atau pemakamannya sekalipun jenasah tidak ada. Hal ini karena menurut Aluk Todolo, setelah manusia meninggal maka rohnya akan menjadi Tomembali Puang yang akan memberi berkat kepada keturunannya

Struktur Kelembagaan

Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakan Tongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge.

Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni :

*Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang

*Ada pemimpin atau yang dituakan dan;

*Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi (untesse batu mapipang).

Di Tana Toraja terdapat 32 Masyarakat Adat yang mandiri dan mempunyai aturan masing-masing yang berbeda. Namun tetap terikat dalam Sang Torayaan yang digelar To Sanglepongan Bulan Tana Matari Allo (bundar bagaikan bulab purnama bersinar bagaikan matahari pagi). Diikat oleh nilai yang diwarisi dan leluhur yang sama.

Kasus Naggala Sebagai Kajian

Salah satu contoh Masyarakat Adat Nanggala atau Lembang Nanggala yang digelar To Annan Karopina Na Lili Misa Babana artinya kesatuan enam wilayah yang diikat melalui satu pintu.
Sebelum pemerintahan Belanda, Nanggala merupakan satu Komunitas yang berdaulat dengan sumber daya alamnya dalam bentuk Hutan seluas ± 20.000 Ha dan persawahan seluas ± 900 Ha. Tahun 1908 Lembang Nanggala diresmikan menjadi Distrik Nanggala yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik yang digelar Parenge.

Seluruh sistem dan struktur pemerintahan adat diakomodasikan dalam sistem pemerintahan Kolonial. Penyesuaian tersebut dapat dilihat pada Karopi dijadikan Kampung yang dipimpin oleh seorang yang semula To Parenge kemudian dijadikan Kepala Kampung Lembaga Peradilan Adat dan Kombongan tetap difungsikan.


Wilayah terdiri dari 6 (enam) Koropi dengan enam Lembagaan Adat yaitu Tongkonan dengan pemangku Adat dinamakan To Parenge. Keenam Karopi tersebut adalah :

1.Karopi Kawasik dengan Tongkonan Langkanae dipimpin oleh To Parenge Kawasik.

2. Karopi Rante dengan Tongkonan Tondok Puang di pimpin oleh To Parenge Rante.

3.Karopi Basokan dengan Tongkonan Belolangi di pimpin oleh To Parenge Basokan

4.Karopi Nanna dengan Tongkonan Buntu dipimpin oleh To Parenge Nanna

5.Karopi Alo dengan Tongkonan Dalonga dipimpin To Parenge Alo dan;

6.Karopi Barana dengan Tongkonan Sendana dipimpin oleh To Parenge Barana.

Keenam To Parenge tersebut di atas dinamakan Parenge Petulak (penopang atau pilar).

Struktur Kelembagaan

Tongkonan tertinggi yang merupakan dwitunggal yaitu Lumika dan Pao dengan Pemangku Adat To Dua (dwi tunggal). Kekuasaan meliputi Sang Nanggalaan Na Lili Misa Banana. Tongkona Petulak (penopang) terdapat enam masing-masing di Karopi yang dipimpin oelh To Parenge sebagaimana tersebut di atas.

Hubungan Lembaga Tongkonan Parenge dengan Masyarakat

1.Apabila terjadi perselisihan antar warga dalam Karopi, maka Tongkonan dan To Parenge wajib dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya melalui sidang adat pendamai yang diselenggarakan di Tongkonan.

2.Upacara adat yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam wilayah Karopi yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya adalah Toparenge sedangkan yang punya upacara hanya menyediakan bahan pengerahan tenaga dan pengaturannya dan pelaksanaannya mennjadi tanggungjawab To Parenge bersama Pemangku Adat lainnya. Andaikata ada sesuatu yang tidak beres, maka bukan yang punya upacara yang bertanggung jawab tetapi To Parenge.
3.Penyelesaian pelanggaran adat yang merugikan masyarakat melalui adat pendamai.
4.Mengatur dan menyelesaikan pembagian warisan anggota masyarakat apalagi yang menyangkut tanah (lihat lampiran).

Ciri- Ciri Khusus

1.Suku Toraja adalah penduduk menetap. Interaksi dengan alam lingkungannya sangat menentukan pola hubungan sosial dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Ciri tersebut mempengaruhi bentuk komunitas yang bernuansa kebersamaan dan demokratis.

2.Oleh proses sejarah yang panjang dan dituntut sampai sekarang, maka budaya hidup berkelompok dalam satu komunitas di atas wilayah yang tetap merupakan ciri khusus masyarakat suku Toraja.

3.Kombongan sebagai wadah musyawarah merupakan lembaga yang tertinggi. Segala sesuatu aturan yang menyangkut publik harus diputuskan melalui Kombongan. Pengambilankeputusan tanpa musyawarah atau otoriter baik oleh pemerintah ataupun oleh Pemangku Adat tidak pernah ditaati atau dilaksanakan oleh masyarakat. Istilah To Makada Misa (otoriter) tidak pernah diterima oleh masyarakat Toraja.

4.Faktor sejarah dan silsilah Lembang tempat asalnya merupakan kebanggaan masing-masing masyarakatnya.

5.Faktor hubungan keluarga yang legitimasi melalui sejarah dan silsilah merupakan tali pengikat yang dapat merupakan salah satu sarana penyelesaian konflik.

Strategi dan pintu masuk dalam rangka penguatan adalah melalui komunitas Lembang atau kelompok dan bukan individu. Pengungkapan sejarah serta nilai adat masing-masing Lembang merupakan alat komunikasi yang efektif dengan masyarakat.

Di Tana Toraja menurut Kruyt dan Andriani terdapat 32 Recht Gemeinschaft yang sekarang ini disebut Masyarakat Adat. Oleh pemerintahan kolonial Belanda ke-32 Rechtgerneinschaft dijadikan distrik yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Distrik membawahi Karopi yang dinamakan Kampung dipimpin oleh To Parenge Kanopi yang diubah namanya menajdi Kepala Kampung. Jadi ada kejelian dari pemerintahan Kolonial Belanda untuk menjadikan adat sebagai pintu masuk, sedangkan mekanisme Kombongan dan fungsi Tongkonan tetap dipertahankan.

ANALISIS :

Toraja mempunyai arti yaitu orang yang hidup dinegri atas atau pegunungan.masyarakat toraja masih memegang penuh kepercayaan nenek moyang mereka hingga sekarang salah satunya yaitu Upacara kedukaan disebut Rambu Solok dan Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka.menurut suku toraja manusia yang sudah meninggal harus diupacarakan, Upacara untuk orang demikian ada 2 yaitu Di poyan angin dan Upacara Mangrambu Tampak Beluak. Menurut mereka setelah manusia meninggal maka rohnya akan menjadi Tomembali Puang yang akan memberi berkat kepada keturunannya

Dalam struktur kelembagaan suku toraja mereka hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang, Ada pemimpin atau yang dituakan dan Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi (untesse batu mapipang).Dalam hubungan kelembagaan apabila terjadi perselisihan antar warga dalam Karopi, maka Tongkonan dan To Parenge wajib dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya melalui sidang adat pendamai yang diselenggarakan di Tongkonan.

Sumber :

http://amiemangontan.blogspot.com/

http://community.um.ac.id/showthread.php?97827-upacara-adat-Toraja

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/adat-suku-tana-toraja/